
Lenteraharapan.online – Slawi – Kabupaten Tegal – Siang itu di Pendapa Ki Djaga Manggala, langit tampak teduh, udara menyimpan kehangatan khas musim kemarau. Ruang pendapa dipenuhi tamu-tamu terhormat, sebagian besar berseragam cokelat khas institusi yang tengah merayakan hari jadi Kepolisian Republik Indonesia. Di bawah ornamen kayu berukir dan bendera merah putih yang tergantung anggun di panggung, Hari Bhayangkara ke-79 dirayakan oleh masyarakat Kabupaten Tegal untuk Polri yang diinisiasi oleh H. Supandi.
Dari kerumunan tamu undangan, tampak seorang perempuan muda berwajah ayu, mencuri perhatian banyak orang. Berbusana putih bersih dan berhijab, ia menyapa dengan senyum yang ramah dan sapaan suara yang jernih. Tidak banyak yang tahu, bahwa di balik keteduhan sikap dan paras yang ayu, perempuan ini sedang menjalani fase penting dalam hidup akademiknya.
Dialah Ria Candra Dewi, seorang promovendus, calon doktor yang tengah menyelesaikan disertasinya di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA). Kehadirannya hari itu bukan sekadar sebagai anggota event organizer, tetapi sebagai simbol pemerhati tentang moderasi beragama di Kabupaten Tegal. Moderasi beragama menjadi napas penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Promovendus Ria Candra Dewi memandang moderasi beragama di Kabupaten Tegal seperti napas segar dalam kehidupan berbangsa, khususnya di Kabupaten Tegal. Baginya, kehadiran pemuka agama dan memanjatkan doa sesuai dengan agamanya masing-masing bukan hanya seremoni spiritual, tetapi wujud nyata dari penghargaan dan toleransi yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Kabupaten Tegal.
“Kita ini keluarga besar bangsa Indonesia. Perbedaan itu bukan untuk dipertentangkan, tapi dijadikan kekayaan. Doa bersama lintas agama adalah jembatan batin yang menyatukan keberagaman itu,” ujar Ria saat ditemui di sela-sela HUT Bhayangkara ke-79 pada hari Sabtu, 5 Juli 2025 yang lalu.
Moderasi Bukan Menyamakan, Tapi Menghormati
Moderasi beragama, dalam pengertian Ria, bukan berarti menyeragamkan keyakinan, melainkan membangun ruang saling menghormati dan melengkapi. Ia mengutip semboyan kuno Indonesia: Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua.
“Beda tidak untuk dibedakan, dan sama juga tidak untuk disamakan,” katanya, mengutip nilai-nilai toleransi yang ia pelajari sejak SD.
Sudut pandang ini selaras dengan pemikiran Prof. Azyumardi Azra, cendekiawan Muslim dan mantan Ketua Dewan Pers, yang menyatakan bahwa:
“Moderasi beragama adalah jalan tengah. Ia menolak ekstremisme dan eksklusivisme agama, dan justru mengedepankan nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan kerja sama lintas agama.”
Tegal: Miniatur Harmoni Jawa Tengah
Kabupaten Tegal yang terletak di barat Jawa Tengah, selama ini dikenal sebagai wilayah yang cukup heterogen. Selain Islam yang menjadi agama mayoritas, terdapat komunitas Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, hingga kepercayaan lokal.
Pemerintah daerah pun dalam beberapa tahun terakhir aktif menginisiasi forum-forum kerukunan umat beragama (FKUB), serta mendorong pelaksanaan kegiatan bersama di hari-hari besar keagamaan. Salah satunya adalah Doa Bersama Lintas Agama, saat peringatan hari-hari tertentu yang diselenggarakan oleh Pemda Kabupaten Tegal, Kementerian Agama Kabupaten Tegal, dan lembaga-lembaga terkait yang mengawal kebhinnekaan.
Menurut Pdt. Dr. K.R.T. Sugeng Prihadi, pendeta jemaat yang aktif sebagai pegiat agama dan kebudayaan, yang disertasinya menyoroti moderasi beragama di jalur Pantai Utara (Pantura):
“Keragaman agama dalam perbedaannya tidak serta-merta menjadi konflik, jika negara dan masyarakat sipil mampu menciptakan ruang inklusif. Artinya, semua pihak boleh terlibat tanpa dipinggirkan. Misalnya, tokoh lintas agama diajak duduk bersama saat doa bersama, atau anak dari latar agama berbeda mendapat perlakuan setara. Kunci utamanya adalah trust dan dialog.”
Dan rupanya di Kabupaten Tegal, ruang itu perlahan-lahan terus diperluas.
Ruang Perjumpaan dan Pendidikan Damai
Bagi Ria Candra Dewi, yang sehari-hari bekerja sebagai dosen di Politeknik Baja Tegal, langkah ke depan yang dibutuhkan bukan hanya seremoni bersama, tetapi juga pendidikan multikultural sejak dini.
“Kalau anak-anak sejak kecil dikenalkan bahwa tetangganya yang berbeda agama itu sahabat, bukan ancaman, mereka akan tumbuh menjadi penjaga kerukunan.”
Pandangan ini didukung oleh Ban Ki-moon, mantan Sekretaris Jenderal PBB, yang dalam pidatonya tentang toleransi berkata:
“Toleransi harus menjadi bagian dari kurikulum. Bukan hanya sebagai ide, tapi sebagai praktik hidup.”
Harapan untuk Kabupaten Tegal dan Indonesia
Harapan Ria sederhana, namun mendalam:
“Semoga kerukunan antarumat beragama di Indonesia, khususnya di Kabupaten Tegal, bisa terus tumbuh. Mari saling menghormati, bertoleransi, dan saling melengkapi,” jelas Ria, yang asli kelahiran Tegal dan suka menulis novel serta puisi Tegalan.
Di tengah gejolak global dan politisasi identitas yang kian menajam, kisah seperti ini menjadi lentera. Lentera kecil yang menyala dari sudut Kabupaten Tegal, tapi cahayanya bisa menembus batas wilayah.
Moderasi beragama bukan sekadar jargon, tetapi cara hidup. Dan seperti yang ditunjukkan oleh promovendus Ria dan masyarakat Tegal, harmoni itu bukan mustahil. Bisa dirawat dengan doa, perjumpaan, dan niat yang tulus menjaga Indonesia tetap satu dalam keberagaman (sugeng ph/Red)